Sejarah RFL dimulai sejak berlagsungnya perang Perancis dengan Prussia tahun 1870. Diawali dengan adanya seorang prajurit yang terluika di Basel, sebuah kota yang terletak diperbatasan Swiss.
Seorang dokter yang merawat prajurit-prajurit yang terluka tersebut menemukan bahwa salah satu faktor utama penyebab lambannya proses penyembuhan prajurit adalah kekhawatiran mereka bahwa keluarga mereka tidak tahu apakah mereka sudah tewas atau tertangkap atau terluka.
Semangat para prajurit tersebut diyakini akan bertambah secara signifikan jika meraka dapat menulis surat kepada keluarga. Kegiatan ini merupakan cikal bakal pelayanan RFL dalam Gerakan.
Dalam perjalannya, pelayan RFL jugasemakin diperkuat legalitasnya dalam keempat Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol Tambahannya yang pertama tahun 1977 yang membahas masalah perlindungan bagi orang-orang yang terkena dampak konflik bersenjata internasional.
Yang dikategorikan adalh anggota angkatan bersenjata yang terluka atau sakit dalam perang di darat atau dilaut, anggota dinas militer dan tawanan perang.
Walaupun awal mulanya pelayanan RFL diberikan pada amasa konflik, namin melihat kebutuhan yang berbeda-bedadimasing-masing Perhimpunan Nasional menyebabkan selain dalam situasi konflik,
pelayanan RFL juga berperan dalam situasi selain konflik, seperti bencana. Indonesia sebagai wilayah yang dikenal sebagai “laboratory of disaster” menyebabkan pelayanan RFL di PMI ditempatkan dibawahkoordinasi divisi Penanggulangan Bencana.
PMI mulai mebuka pelayanan RFL pada tahun 1979 untuk para pengungsi perahu dari vietnam di Pulau Galang (Provinsi Kepulauan Riau). Pelaksanaannya berlangsung sampai 1992 dan didukung oleh ICRC.
Setelah itu PMI memberikan pelayanan RFL semasa konflik, gangguan dalam negeri dan bencana seperti :
- Perang Teluk 1991 –1992 bekerjasama dengan perhimpunan BSM Arab Saudi mempertukarkan lebih dari 7000 RCM
- Konflik Timor Timur, sejak tahun 1975 RFL sudah aktif dalam penyampaian RCM. Hingga saat ini masih ada kerjasama antara PMI dan CVTL (Cruz Velmelha de Timor Leste/Palang Merah Timor leste), berupa pertukaran RCM di perbatasan antara Timor Leste dan Indonesia (NTT).
- Insiden Bom Bali 2002. Kegiatan tim RFLadalah membantu mengisi formulir data ante-mortem dari keluarga para korban untuk identifikasi jenazah (dilakukan kerjasama dengan tim forensik Indonesia dan Polisi Federal Australia)
- Musibah Tsunami yang meluluhlantakan Aceh dan Pulau Nias Desember 2004.Pelayanan RFL berupa saya selamat “I’am Alive” dan Saya mencari “I’m Looking For” berlangsung sampai akhir 2005
- Gempa Bumi Yogyakarta Mei 2006
- Banjir bandang di wasior, Papua Barat tahun 2010
- Meletusnya Gunung Merapi di jogyakarta dan Jawa Tengah 2010
Gempa Bumi dan Tsunami di Mentawai
PMI juga memberikan bantuan dalam situasi normsl, bagi anak angkat yang mencari orangtua kandung mereka di Indonesia. Kondisi ini dilatar belakangi karena sejarah mas lalu, dimana pada masa perang antara Indonesia dengan Belanda,
banyak anak-anak Indonesia yang diadopsi oleh keluarga dari Belanda. Ketika si anak dewasa, mereka ingin mengetahui keberadaan dari orang tua biologisnya. Kriteria ini masih menjadi bagian dari pelayanan RFL sampai saat ini.
Setelah lebih dari 26 tahun istilah TMS (Tracing and Mailing Service) digunakan sebagai wadah kegiatan pencarian, per tanggal 20 November 2006, bagian TMS merasa perlu mengganti nama menjadi RFL (restoring Family Links) atau Pemulihan Hubungan Keluarga.
Pada tahun 2006 RFL kembali menjadi bagian dari Divisi Penangulangan Bencana PMI, dan PMI membuat keputusan untuk membangun dan memperkuat kapasitas RFL nya agar mampu memberikan pelayanan RFL di semua PMI Provinsi dan PMI Kabupaten/Kota bilamana kebutuhan muncul